Lamporan



LAMPORAN 



Indonesia memiliki banyak keanekaragaman  budaya. Kebudayaan di setiap daerah memiliki ciri khas masing–masing. Gabungan dari kebudayaan daerah menjadikan kebudayaan nasional yang patut dilestarikan keberadaannya. Banyak budaya lokal yang dapat dijadikan sebagai media pencerminan kehidupan dalam masyarakat. Selain itu, kebudayaan ini dapat menjadikan sebuah pembelajaran bagi manusia untuk menumbuhkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan kepribadian bangsa.
Mempelajari kebudayaan adalah sangat menyenangkan. Selain menambah pengetahuan diri juga kita bisa mengetahui bagaimana kebudayaan tersebut tercipta dan dilestarikan hingga kini. “Budaya” berasal dari bahasa sansakerta yaitu “budhayah” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti “budi” atau “akal”.

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki begitu banyak suku daerah dan dari suku-suku tersebut tercipta kebudayaan yang berbeda-beda pula. Misalnya“Budaya Lamporan di desa Soneyan Sumber”.
Berdasarkan keterangan dari  sesepuh desa Soneyan dukuh Sumber kecamatan Margoyoso kabupaten Pati bahwa pada awalnya lamporan merupakan perwujudan tolak-balak terhadap hal-hal negatif. Pada mulanya diadakan lamporan karena sebelumnya satiap awal bulan Suro warga berkumpul di perbatasan desa sebelah timur untuk melihat pergantian tahun. Dan pada suatu ketika terdapat kobaran api lamporan di sebelah timur desa Soneyan yang dianggap sebagi lampor setan. Oleh karena itu, para manusia khususnya warga desa Soneyan melakukan lamporan untuk mendahului lampor setan tersebut.
Lamporan sebelumnya diadakan karena dilatarbelakangi oleh pertempuran antar desa. Desa Sidomukti bertempur dengan desa Soneyan dan dimenangkan oleh desa Sidomukti. Karena kalah maka desa Soneyan harus melanjutkan tradisi tersebut. Di desa lain yaitu desa Tegalarum dan desa Pesagen juga melakukan hal yang sama yaitu pertempuran lampor antar desa, antara desa Tegalarum dan desa Pesagen dimenangkan oleh desa Pesagen. Karena desa Tegalarum kalah maka juga melanjutkan tradisi tersebut. Dan pada akhirnya lampor dari desa Soneyan dan lampor dari desa Tegalarum bertempur di perbatasan desa. Pada pertempuran ini dimenangkan oleh lampor desa Tegalarum. Oleh karena itu, desa Soneyan wajib melanjutkan tradisi lamporan.
Lamporan ini dipelopori oleh kepala desa kedua desa Soneyan yaitu bapak Saribin (mbah Yun) yang menjabat dari tahun 1935 s.d. 1968. Kemudian lamporan diakhiri dengan perayaan Dayakan sebagai penutupan lamporan. Dayakan dipelopori oleh bapak Sutar Klotik yang mulanya bekerja di Kalimantan. Oleh karena itu, pakaian yang dikenakan seperti orang dayak.
Lamporan dilaksanakan mulai hari Jum’at Pahing sampaidengan Sabtu Pon bulan Suro dan ditutup pada hari malam Jum’at  Wage bulan Suro. Jika di bulan Suro tidak ada Jum’at Wage maka lamporan ditutup pada Jum’at Wage bulan selanjutnya. Yang menjadi peserta lamporan yaitu warga desa Soneyan yang memiliki hewan peliharaan berupa sapi, namun warga yang lain yang tidak memiliki sapi boleh ikut dalam tradisi lamporan ini. Mereka mengenakan pakaian ala Dayak dan juga menganakan klinthingan sapi agar ramai.




Lamporan dilakukan 7 hari sebelum penutupan lamporan dengan mengelilingi desa agar desanya aman dan sejahtera. Dayakan atau lamporan boleh dilakukan oleh kaum wanita, namun pada umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Para peserta lampor mengenakan janur(daun kelapa yang masih muda) sebagai pakaian, kemudian dikepala dan bahunyanya terdapat tebeng. Mereka membawa obor dari blarak(daun kelapa yang sudah kering) yang diikat menjulur ke atas dan di bakar di ujungnya. Namun, sekarang menggunakan obor dari bambu yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu.

Para peserta lampor menghias dirinya dengan mencorat-coret tubuh dan wajahnya dengan arang. Semua peserta lampor berjalan mengelilingi desa sambil menyanyi lagu-lagu wajib. Misalnya lagu “teng kilo kiteng tengkilo kombe beko” dan juga lagu negara jaya karya salah satu warga desa Soneyan “negara jaya, sentosa bahagia, tujuan yang mulia, pekan olahraga”. Kadang juga lagu-lagu wajib seperti halo-halo bandung, garuda pancasila, dan sebagainya. Setelah menyanyikan lagu-lagu tersebut, sebagai penyemangat biasanya menyanyikan lagu “ling kolang kaling sing ra lampor sapine gering”.
 
Dalam tradisi dayakan hanya boleh menggunakan alat musik kendhang biasa, tidak boleh menggunakan alat musik pengiring encik, karena jika menggunkana alat musik pengiring encik dipercaya para warga bahwa dapat menyebabkan sapi degluken (tidak bisa jalan). Namun, sekarang ketika dayakan sudah ada tongtek, dan juga yang lain. Agar ramai, maka warga desa sangat antusias mengikuti tradisi lamporan dan dayakan. Kadang juga warga desa lain menyempatkan waktu untuk melihat tradisi yang ada di desa Soneyan.
Pada saat dayakan selesai mengelilingi desa, di setiap perempatan ataupun pertigaan diadakan “barikan” (makan nasi liwet dan telur bersama-sama). Setiap warga desa yang memiliki sapi wajib ikut “barikan”.
 
Pada siang harinya dilanjutkan dengan pentas budaya “Barongan” untuk menutup perayaan tradisi. Pada acara ini, hari sebelumnya yaitu “barongan” mengelilingi rumah-rumah warga untuk mengambil ketupat yang diisi uang. Tujuan dari ketupat yang diisi uang yaitu sebagai rasa syukur dan tolak balak terhadap roh-roh jahat. Dengan dimakan “barongan” maka roh-roh jahat akan pergi dan tidak mengganggu warga desa.

Jika kita amati penampilan peserta lampor maka akan kita temukan bentuk-bentuk yang unik, misalnya seperti penggambaran dari orang dayak dengan paras wajah yang dicorat-coret menggunakan arang. Falsafahnya mereka merupakan pencintraan diri manusia yang mempunyai keinginan untuk melindungi alam khususnya desa tempat tinggalnya.
Lampor yang sedikit berbeda penampilannya mereka digambarkan sebagai seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin harus pandai mengatur dan mengendalikan anggotanya. Dalam hal ini yaitu peserta lampor yang lain dalam satu pleton tersebut.


Ditulis Oleh : Sarang Garuda

Terima kasih Anda telah membaca artikel : Lamporan. Yang ditulis oleh Sarang Garuda .Pada hari Senin, 23 Februari 2015. Jika Anda ingin sebarluaskan artikel ini, mohon sertakan SUMBER LINK ASLI. Kritik dan saran dapat Anda sampaikan di komentar, Terimakasih

G+

About Sarang Garuda

Sanggar "Sarang Garuda" merupakan sebuah wadah bagi pemuda Desa Soneyan Margoyoso Pati ,Jawa Tengah yang mempunyai visi : "Membentuk Masyarakat yang mandiri, kreatif, inovatif dan bertanggung jawab serta berdaya saing tinggi dengan menggali sumber daya"
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Bisakah di jelaskan lebih detail tentang urutan pelaksanaan, makna/falsafah dari peralatan yang digunakan, seperti sesaji bermakna... terimakasih

    BalasHapus

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com
Selamat datang di blog "SARANG GARUDA", New Event is Coming Up !